http://madrasahdiniyahwustho.blogspot.com/

DONASI

hubungi
HP 0877 3357 2211

Kamis, 10 Maret 2011

Amal Dunia dan Amal Ukhrawi

Oleh: H. Salahuddin Wahid


Seperti biasa, tulisan Gus Mus (GM) selalu menarik untuk dibaca. Dalam tulisan di Jawa Pos beberapa minggu lalu, GM menyatakan bahwa akar dari segudang masalah yang kita hadapi saat ini bukanlah kebohongan, sebagaimana dikatakan banyak orang. Menurutnya, akar masalah kita adalah salahnya tujuan hidup kita, yaitu untuk kehidupan dunia, padahal seharusnya untuk kehidupan akhirat.


Harta dan kekuasaan (takhta) naik dari idaman menjadi pujaan, lalu menjadi (semacam) Tuhan. Karena itu, menurut GM, kita harus mengadakan revolusi mental, mengembalikan konsep kehidupan dunia ini seperti semula. Memandang dunia dan materi ini biasa-biasa saja. Tidak berlebih-lebihan. Lalu, kita membuat gerakan hidup sederhana.

Dalam diri saya langsung timbul pertanyaan, bagaimana dengan sejumlah masyarakat yang kurang mengenal kehidupan akhirat, mengapa mereka bisa menjadi Negara atau masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera? Mengapa di sejumlah Negara semacam itu korupsi hanya terjadi secara terbatas, tidak meluas seperti di Indonesia? Mengapa di sana hukum dan keadilan dapat ditegakkan dengan lebih baik dibandingkan di sini?


Keikhlasan

Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa kehidupan akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia. Sementara itu do’a yang sering kita baca adalah rabbana aatina fid dunya khasanah wa fil aakhiroti khasanah, berilah kami kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Artinya, kehidupan di dunia yang baik harus dikejar karena memang kita harus hidup di dunia dalam perjalanan menuju akhirat, tetapi tujuan utamanya tetap kehidupan akhirat. Kita harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Lalu, bagaimana kita harus tahu mana amal atau karya kita yang termasuk kategori bernilai duniawi dan mana yang termasuk kategori ukhrawi? Di dalam Islam ditentukan bahwa semua amal itu bergantung pada niatnya. Maka, amal yang lazimnya kita anggap sebagai amal ukhrawi, tetapi niatnya tidak semata-mata untuk mendapat rida Allah, menjadi sia-sia dan tidak bernilai di mata Allah, menjadi amal bernilai duniawi. Contohnya, bersedekah untuk pamer. Sebaliknya, amal yang umumnya kita anggap bernilai duniawi, tetapi karena niatnya baik dan caranya benar, menjadi bernilai ukhrawi. Misalnya, bekerja keras untuk memberi nafkah keluarga dengan cara yang sesuai agama.

Jadi, kata kunci dari benar tidaknya tujuan hidup kita di dunia untuk akhirat adalah keikhlasan kita dalam semua kegiatan atau amal kita. Kalau amal kita tidak dilandasi keikhlasan, walaupun caranya benar dan jumlahnya banyak, amal kita tidak bernilai, walau kita meyatakan bahwa tujuan kita adalah kehidupan akhirat.

Hadis Nabi SAW. “Amal itu bergantung pada niatnya. Bagi setiap orang apa yang diniatkan. Siapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan, siapa hijrahnya adalah karena dunia yang dia ingin miliki atau karena perempuan yang dia ingin nikahi, maka hijrahnya karena itu pula”.

Al Harits al Muhasibi mengatakan bahwa orang yang tulus adalah orang yang tak peduli bila makhluk menilai lain dirinya demi menjaga hatinya, tak pula senang bila orang-orang mengetahui kebaikannya walau setitik, dan tak pula benci bila orang-orang mengetahui keburukannya. Dzun Nun al Misri mengatakan bahwa tiga tanda ikhlas adalah: Pujaan dan hinaan orang dirasa sama saja, lupa akan penglihatan orang pada saat berbuat, dan berharap pahala amal diberikan di akhirat.

Saya khawatir timbul kesan bagi orang yang tidak cermat membaca tulisan GM itu bahwa sebaiknya kita tidak mempelajari ilmu dunia, hanya mempelajari ilmu akhirat (agama). Menurut saya, mempelajari ilmu dunia mengandung nilai ukhrawi kalau niatnya untuk mendapa rida Allah dan untuk kemajuan kemanusiaan. Mempelajari ilmu agama menjadi tidak bernilai ukhrawi kalau niatnya tidak untuk mendapat rida Allah.

Tiga Ta

Di sini sudah lama kita kenal istilah “tiga ta”, yaitu harta, takhta, dan wanita”, yang menjadi fokus dari masalah dunia. Semua masalah dunia pasti terkait dengan “tiga ta” tersebut, tidak ada yang tidak. Mana yang menarik dari tiga itu? Tiap orang punya prioritas sendiri-sendiri. Tetapi umumnya yang paling diminati adalah harta. Tetapi umumnya yang paling diminati adalah harta. Kebanyakan orang mudah tergelincir karena masalah harta. Yang mengejar takhta pun biasanya juga punya sasaran akhir masalah harta.

Banyak orang yang bisa bertahan dari godaan wanita (atau lelaki), baik karena takut penyakit maupun karena alasan agama. Tetapi, agama ternyata tidak cukup kuat untuk mencegah kebanyakan orang dari godaan harta, banyak yang kehilangan kepakaan terhadap dosa dan larangan agama. Kita bisa begitu cermat meneliti apakan makanan kita tercemar unsur babi atau tidak. Tetapi, banyak dari kita yang sama sekali tidak teliti menjaga kehalalan uang yang kita peroleh untuk membeli makanan.

Takhta adalah yang paling banyak orang tahan terhadap godaan. Tetapi, setelah reformasi, banyak orang yang tergoda oleh takhta. Itu disebabkan ternyata takhta juga bisa membawa harta dalam sejumlah banyak dan waktu seingkat serta mudah. Yang dibutuhkan hanya keberanian, kenekatan dan tidak malu. Diperlukan rasa tidak tahu malu karena banyak yang memperoleh takhta dan harta itu kemudian harus masuk penjara.

Takhta ternyata sudah mengalami perkembangan makna. Semula takhta hanya meliputi pejabat pemerintah, mulai presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, kepala dinas, hingga camat. Juga ketua DPR/DPRD, Kapolri, kepala staf angkatan, panglima, direksi, BUMN. Selain itu ketua umum, ketua wilayah, dan ketua cabang parpol.

Belakangan kita melihat bagaimana upaya luar biasa dari banyak pihak untuk mengganti Ketua Umum PSSI Nurdin Halid karena jabatan itu sudah menjadi takhta. Jabatan tersebut menjadi takhta karena bisa memberi status sosial tinggi dan konon juga ada manfaat materi. Tidak hanya jabatan pada organisasi olahraga, tetapi juga jabatan pada ormas agama dan banom (badan otonom) di bawahnya. Tak heran, banyak orang yang mengejar jabatan semacam itu seperti mengejar jabatan pimpinan parpol. Segala macam jalan ditempuh, termasuk membeli suara.

Untuk bisa memandang dunia (tiga ta) tidak berlebih-lebihan, perlu moral dan etika atau akhlak, yaitu pengendalian dari dalam diri kita. Akhlak itu intinya adalah kejujuran. Pengendalian dari dalam ternyata tidak cukup. Diperlukan pengendalian dari luar kita, yaitu hukum, yang meliputi substansi hukum (UU). Lembaga, dan aparat penegak hokum serta budaya hukum. Celakanya, banyak aparat penegak hukum yang tergoda “tiga ta”.

*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Tebuireng

**Dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

free counters

DOWNLOAD SOFTWARE ADZAN

Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal
SekolahFOREX.Net

PENYELENGGARA

Penasehat :
KH Ansor Hasan, Drs Supaat,M.Pd, Agus Kusyanto S.P.d

Kepala Madin : Ust. Sholeh
Ka.Ur TU : Purwo, S.Pd
Bendahara : Sunarto

Ur.Kurikulum : H Asmuni
Ur.Pengembg : Ubaedillah
Ur.Pengajaran : Nur Hasan

Entri Populer

DAPATKAN PENGHASILAN HALAL

SekolahFOREX.Net

DOWNLOAD JADWAL SHOLAT